photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Dua Shalat Berjamaah Satu Waktu, Bolehkah?


Di beberapa masjid, kebanyakan masjid yang menjadi tempat persinggahan sering didapati fenomena menarik. Terdapat dua, tiga, bahkan lebih kelompok-kelompok yang melaksanakan shalat berjamaah dalam satu ruangan masjid. Mereka yang hendak menunaikan shalat dan mendapati fenomena ini tentu kebingungan. Jamaah manakah yang harus diikuti.
Jika memaknai fenomena ini lebih dalam tentu akan tersirat "perpecahan di tubuh umat Islam. Jangankan soal urusan sosial, politik, dan urusan kemasyarakatan, persoalan pokok yakni shalat saja, mereka sudah berpecah belah menjadi kelompok-kelompok kecil. Bisa juga dipertanyakan, imam manakah yang lebih absah kepemimpinannya di antara kubu-kubu yang shalat berjamaah tersebut?
Perkara ini dibahas secara lugas dalam Tafsir Al Qurtubi Jilid 8 halaman 257. Imam Qur tubi menyebutkan, "Tidak diper bolehkan membuat dua shalat berjamaah dalam satu masjid dengan dua imam. Ini menyalahi seluruh pendapat para ulama." Seluruh ulama sepakat akan ke haraman membuat dua shalat berjamaah atau lebih dalam satu masjid. Bahkan Imam Malik secara tegas mengatakan, "Tidak boleh ditegakkan dua shalat berjamaah dalam satu masjid."
Secara logika, dua jamaah shalat berjamaah atau lebih dalam satu masjid menggambarkan perpecahan umat Islam. Jika ada dua kubu kepemimpinan dalam satu tempat, tentu satu sama lain akan bertikai.
Satu imam akan membaca surat al-Fatihah dan ayat Alquran akan beradu suara dengan bacaan imam yang lain.
Demikian juga, suara takbir imam yang satu akan beradu dengan suara takbir imam yang satunya lagi. Intinya, akan ada dua instruksi dari dua imam yang berbeda kepada jamaahnya.
Inilah gambaran perpecahan umat Islam dalam shalat. Jika dalam shalat saja umat Islam sudah berpecah belah dengan dua kubu shalat berjamaah, apalagi nantinya di luar shalat. Tentu perpecahan umat Islam akan semakin nyata. Shalat berjamaah merupakan cerminan kehidupan Islami yang dituntunkan syariat. Semua aspek dalam shalat berjamaah meru pakan cerminan kehidupan umat Islam.
Demikian juga, dilarang bagi makmum untuk mendahului gerak an imam. Para makmum harus mengikuti imam setelah takbir dibacakan. Maknanya, dalam realitas kehidupan sehari-hari umat Islam tidak boleh lancang main hakim sendiri sebelum ada kebijakan pemimpin. Jika seorang pemimpin memerintahkan rakyatnya, wajiblah bagi rakyat untuk mengikuti. Seorang pemimpin juga mencontohkan apa yang ia suruh dengan melakukannya ter lebih dahulu sebelum para makmum mengikutinya.
Realisasi tersebut berujung hing ga ke akhir dari shalat, yakni menoleh ke kanan dan ke kiri. Maknanya, seorang yang sudah menjalin hubungan vertikal kepada Allah harus mem perhatikan hubungan horizontalnya kepada sesama manusia.
Islam sangat tegas dalam menyikapi adanya dwi kepemimpinan dalam tubuh umat Islam. Tidak diperkenankan bagi seseeorang menjadi imam, sedangkan sudah ada imam lainnya yang telah terlebih dahulu memimpin umat Islam.
Hal ini juga menjadi cerminan dari kehidupan bernegara antara pemimpin dan warganya. Tidak bo leh ada dua pemimpin dalam tubuh umat Islam. Dalam hadis lain juga dikuatkan, "Siapa yang membai'at seorang imam (pemimpin), lalu memberikan geng gaman tangannya dan menye rahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mung kin. Dan, jika datang orang lain yang mencabut kekuasaan itu, penggallah leher orang itu." (HR Muslim).
Abu Bakar As Shiddiq tatkala menjadi khalifah juga pernah berkata, "Tidak halal bagi kaum Muslimin mempunyai dua imam (pemimpin)." Perkataan beliau menjadi ijma' karena tidak ada se orang sahabat pun yang mengingkari Abu Bakar me ngatakan hal itu.
Imam Juwaini mengibaratkan, jika umat Islam dipimpin oleh dua orang imam, sama artinya seorang wali yang menikahkan putrinya dengan dua orang laki-laki. Dalam rumah tangga, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Menurut Imam Juwaini, memiliki dua pemimpin sama halnya dengan memiliki dua orang suami. Tentu hal ini merupakan kemungkaran yang jelas keharamannya. Demikian, seperti dipaparkan Dr Muhammad Khair dalam kitabnya Wahdatul Muslimin fi Asy Syari'ah Al Islamiyah.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment