photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Bolehkah Memerankan Sosok Nabi dan Rasul dalam Film?


Oleh: H. Hannan Putra, Lc


Banyaknya kisah Nabi dan Rasul yang difilmkan terkadang menuai kotroversi di masyarakat. Perdebatan muncul terkait hukum memerankan sosok Nabi, Rasul, sahabat Nabi dari Tabi'in, hingga orang-orang soleh. Apakah boleh memerankan mereka dalam bentuk visual? Demikian juga figur peran dalam teater. Benarkah sosok Nabi dan Rasul tak boleh diperankan?

Perdebatan hal ini sebenarnya telah mulai dibahas sejak tahun 1976 sejak kemunculan film The Message. Dalam film itu beberapa aktor memerankan para Sahabat Nabi SAW. Film ini banyak ditolak beberapa kalangan. Ada juga yang mendukungnya mengingat ada unsur dakwah dan pemaparan sejarah Islam di sana.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keluaran Fatwanya 2 Juni 1988 secara tegas mengharamkan penokohan sosok Nabi dan Rasul dalam film. Pengharaman tersebut tidak hanya untuk figur Nabi Muhammad SAW, tetapi juga bagi keluarga, serta sahabat-sahabatnya. MUI berdalil dengan keumuman hadis Rasulullah SAW, "Siapa  yang berdusta kepada saya dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari Muslim).

Hukum memerankan sosok Nabi dan Rasul juga dapat diqiyaskan pada hukum patung dan lukisan. Dalam peristiwa Fathul Makkah, para sahabat Nabi menghancurkan seluruh patung dan gambar-gambar yang terdapat di sekitar Masjidil Haram. Hal ini menegaskan bahwa syariat Islam tidak mentolelir peniruan-peniruan makhluk hidup dalam bentuk apapun. Larangan melukis dan mematung sosok Nabi dan Rasul juga menjadi ijma' sukuti dari para ulama.

Tidak melukis, mematung, memerankan dalam karakter film, dan tindakan-tindakan sejenisnya merupakan penghormatan kepada sosok Nabi itu sendiri. Larangan ini juga sebagai langkah sad az-Zari’ah (tindakan preventif) untuk menghindari hal-hal yang berpotensi melecehkan Nabi dan Rasul.

Lajnah Fatwa Kerajaan Arab Saudi dalam keluaran fatwanya nomor 4723 juga mengharamkan penokohan sosok Nabi dan Rasul dalam film. Mufti Arab Saudi sendiri bahkan tidak memperbolehkan untuk memvisualisasikan kisah nabi dalam bentuk film. Alasannya, banyak sekali syubhat dari dialog, lokasi dan situasi dalam film yang memang tak serupa aslinya. Dialog dalam film yang dibuat-buat berpotensi pada kebohongan dalam sirah Nabi SAW.

Lajnah Fatwa juga menambahkan, larangan juga berlaku untuk memerankan sosok orang kafir seperti Fir'aun, Abu Jahal, dan seterusnya. Ketika mereka memerankan figur tersebut tentu akan mengeluarkan acting dan kata-kata fasik. Misalkan, ejekan atau celaan kepada Nabi. Hal ini diharamkan walau hanya berpura-pura.

Mufti Arab Saudi Ibnu Utsaimin dalam fatwanya juga menegaskan, para sahabat Nabi dari Tabi'in dan orang-orang saleh juga tidak boleh diperankan dalam bentuk film. Misalkan, seperti Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Ahmad bin Hanbal, dan seterusnya. Menurut Ibnu Utsaimin, pemeranan tokoh-tokoh orang saleh tersebut tentu akan menurunkan derajat mereka.

Menurut Ibnu Utsaimin, masih banyak model dakwah lainnya serta berbagai media yang bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan kisah para Nabi dan Rasul kepada anak-anak muslim. Orang yang faham dengan kisah Nabi, Rasul dan orang-orang saleh lainnya bisa berkreasi dalam mengisahkannya tanpa harus memakai media visual.

Sejatinya, tidak ada karakter yang pas yang benar-benar bisa memvisualisasikan karakter dari orang-orang saleh tersebut. Memerankan karakter mereka dalam film atau pentas drama/ teater berarti telah menurunkan kehormatan mereka. Apalagi, tambah Utsaimin, kebanyakan kalangan selebritas saat ini tak banyak yang memahami kaidah agama dengan baik.

Sedangkan para ulama yang membolehkannya dengan beberapa syarat. Diataranya, untuk memerankan peran orang shaleh tidak boleh memperlihatkan wajah. Jadi pemeran orang saleh dan para sahabat Nabi tersebut digambarkan wajahnya dalam bentuk cahaya, atau tidak mengarahkan kamera ke arah wajah. Sedangkan untuk Para Nabi dan Rasul, pemerannya tidak boleh ditangkap kamera dan tak boleh ada suara. Jadi cukup dikondisikan dalam kisah film tersebut seakan-akan ada sosok Nabi di belakang kamera.

Para ulama yang membolehkan berdalil dengan kaidah fiqh yang menimbang adanya aspek manfaat dalam film kisah nabi. Anak-anak generasi muslim bisa dimudahkan untuk belajar memahami kisah nabi sekaligus menjadikannya sebagai hiburan. Namun, hiburan yang mendidik tersebut juga tak boleh keluar dari koridor syariat Islam.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment