photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Mencari Istilah Terorisme dalam Kamus Islam

Oleh; H. Hannan Putra, Lc 
Serangkaian aksi terorisme yang menghantui Prancis kembali menyasar kelompok ekstrimis Islam. Banyak yang menanyakan, apakah ada ajaran Islam yang jika difahami secara fundamentalis bisa melahirkan seorang teroris?

Frans Magnis-Suseno (2002) memahami fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya, hal mana kalau ajaran itu termuat dalam kitab suci dekat dengan skripturalisme.

Sementara terorisme, menurut Ikram Azzam (1999) mendeskripsikan teorisme sebagai serangkaian aksi yang bertujuan pada upaya penebaran kepanikan, intimidasi, dan kerusakan di dalam masyarakat, yang dalam operasinya bisa saja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya mengambil posisi oposan terhadap negara.

Tokoh Islam mengklaim, seorang fundamentalis dapat memegang kuat teologi dan penghayatan agamanya, tanpa perlu menjadi teroris. Artinya, terorisme tidak selalu identik dengan fundamentalisme, baik dalam Islam maupun yang lainnya. Seorang fundamentalis, demikian Suseno, bisa saja menjadi warga masyarakat yang damai dan santun.

Oleh karena itu, kalau fundamentalisme harus dipahami sebagai akar bagi terorisme dalam Islam, itu jelas sesuatu yang musykil. Disebut musykil, karena kalau seorang Muslim benar-benar menjadi fundamentalis, maka ia akan mengalami kesulitan besar untuk melakukan terorisme. Bagaimana tidak musykil, al-Qur`an sendiri sebagai panduan hidup secara verbatim harafiah telah lantang menyuarakan pengingkaran dan penolakan terhadap kekerasan apalagi terorisme.

Problemnya kemudian, sebagian kelompok fundamentalis itu memang tidak berhenti pada penghayatan teologi skripturalistiknya semata, melainkan terus berlanjut pada sikap militan dalam beragama. Kita tahu bahwa militansi keberagamaan Islam meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus; positif dan negatif.

Ke dalam, seorang militan akan bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman seperjuangan yang harus dibela. Sementara, ke luar, ia akan bersikap negatif dengan memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang. Dengan langgam seperti itu, maka perbedaan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan dan harmoni, di pangkuan kaum fundamentalis-militan ini berubah menjadi disharmoni.

Pampang sejarah menyebutkan bahwa orang yang menjadi teroris “hampir selalu” diawali dengan sikap keberagamaan militan yang ghalibnya mengikatkan diri pada organisasi-organisasi agama yang militan dengan tokohnya yang militan pula. Lihatlah, daftar panjang tindak kekerasan dan serangkaian teror baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri, yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis-militan ini. Inilah bahaya fundamentalisme-militanisme Islam yang seringkali mengundang kewaspadaan, kekawatiran, bahkan ketakutan dari kelompok dan umat agama-agama lain.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, sekali lagi, jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar).

Tidak ada alasan etik dan moral secuilpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.

Sekarang, kita sedang membutuhkan upaya yang lebih serius ke arah pembersihan Islam dari sejarahnya yang kelam dan kelabu. Islam telah cukup lama dibajak sejumlah kelompok untuk menuai target-target politik kekuasaan. Islam sudah sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain. Sungguh, gerakan kelompok fundamentalis-militan Islam yang seringkali menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan tafsir agamanya adalah iklan buruk bagi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.

Islam tidak boleh lagi menjadi ruang yang eksklusif-primordial, melainkan harus menjadi tenda dan payung penyungkup bagi seluruh umat manusia. Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah keputusan final dan tuntas, sehingga tidak boleh ada kekuatan apapun, baik perseorangan, kelompok maupun institusi-kelembagaan, yang diperkenan untuk mengamandemen, menistakan, apalagi menghancurkan eksistensinya.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment