Oleh; H. Hannan Putra, Lc
Ajaran Islam sangat memperhatikan nasib pekerja. Dari segi pemberian upah, misalkan. Upah atau gaji tak boleh ditunda-tunda. Sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar RA, "Berikanlah upah kepada buruh (pekerja) sebelum kering keringatnya." (HR Ibnu Majah, Tabrani, dan Hakim).
Demikian juga soal upah dan jaminan kehidupan layak bagi karyawan. Nabi SAW bersabda, "Siapa yang mempunyai pekerja hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya). Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal." (HR Abu Daud). Sedemikian disiplinnya syariat mengingatkan atasan yang punya bawahan serta memberikan perlindungan bagi pekerja.
Intinya, Islam memandang hubungan majikan dan pekerja layaknya saudara. Hadis Nabi SAW mengingatkan, "Budak kalian adalah saudara kalian juga. (Cuma) Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian." (HR Bukhari).
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum tenaga kerja agaknya tak sekedar agenda reformasi setelah krisis ekonomi tahun 1998 silam. Penetapan upah minimum regional (UMR) bisa menjelma sebagai interpretasi dari bentuk kontrol masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi ala Islami. Setidaknya dengan adanya penetapan upah minimum bagi pekerja semakin memperjelas mana ketenagakerjaan dan mana perbudakan.
Jika melihat historis perjalanan syariat Islam, bisa disimpulkan kehadiran Islam di muka bumi ini salah satunya untuk menghapuskan perbudakan. Sebelum kelahiran Nabi SAW, sistem perbudakan sudah sangat mapan di seantero dunia. Majikan bebas memberi upah atau tidak bagi budak-budaknya. Bahkan budak pun legal untuk diperjualbelikan. Ajaran Islam sebagai rahmatan lil 'alamin hadir untuk mengikis budaya yang sudah mengakar itu.
Zaman sekarang, kendati perbudakan tidak ada lagi, namun bisa ditemui sistem ketenagakerjaan yang berkedok perbudakan. Pekerja diberi tugas sangat berat dengan upah sangat kecil. Dari kasus buruh pabrik hingga pembantu rumah tangga masih banyak didapati mereka yang tak mendapatkan upah layak. Dengan adanya kontrol upah minimum bagi pekerja yang dikeluarkan pemerintah, setidaknya memberi perlindungan hukum bagi pekerja agar mendapat upah yang layak.
Upah yang tidak layak sejatinya bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Keadilan bisa dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya. Proporsioanlitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Jika adil dimaknai sebagai kejelasan kontrak karyawan-majikan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu; pangan, sandang, dan papan.
Intinya, Islam mencela segala bentuk pengupahan yang tidak layak. Nabi SAW dalam hadisnya bahkan mengumumkan bahwa musuhnya di hari Kiamat dari tiga golongan. Salah satunya, "orang yang mempekerjakan seorang buruh. Ketika si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upah (yang sesuai)." (HR Bukhari dan Ibnu Maajah).
Islam juga tak membenarkan memberi pekerjaan yang sangat berat kepada pekerja. Himbauan Nabi SAW dalam hadisnya, "Jika engkau terpaksa membebani mereka sesuatu yang memberatkan mereka maka bantulah mereka." (HR Bukhari). Para ulama kontemporer mendefenisikan, bantuan yang dimaksud hadis tersebut bisa berupa bantuan secara fisik, bisa juga dalam bentuk tunjangan atau uang lembur.
Dalam merancang berbagai peraturan terkait upah minimum tenaga kerja oleh pemerintah adalah untuk kemaslahatan rakyat dari segi ekonomi dan sosial. Jangan sampai ada pihak yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan pihak lain dengan cara mengeksploitasi para buruh. Penetapan upah minimum ini juga bisa menutup peluang bagi lembaga LSM adventurer maupun pihak ketiga oportunis yang memanfaatkan situasi konflik kepentingan buruh-majikan dengan memprovokasi para buruh dan karyawan mengatasnamakan pembelaan hak dan kepentingan buruh.
Menimbang aspek maslahat tersebut, para fuqaha membolehkan pemerintah untuk campur tangan soal masalah buruh dan karyawan dalam berbagai bentuknya. Pendapat ini di antaranya dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam risalahnya tentang al-hisbah.
Menurut Ibnu Taimiyah, diantara sasaran intervensi pemerintah dalam wilayah publik adalah pencegahan terjadinya penganiayaan dan kezhaliman satu golongan terhadap golongan lain. Dalam kehidupan sosial, satu sama lain saling membutuhkan tenaga dan jasa orang lain. Maka dalam hal ini pemerintah dapat menentukan UMP yang layak bagi mereka yang rasional berdasarkan indeks harga konsumen lokal.
Di samping itu dengan standar gaji dan upah yang ditetapkan, pemerintah dapat mencegah terjadinya aksi menuntut upah dan gaji yang lebih tinggi dari standar yang realistis.
Pengertian Upah minimum digunakan dalam berbagai cara di seluruh dunia untuk menunjukkan batas bawah upah yang dapat ditegakkan secara hukum melalui proses yang memerlukan kewenangan negara.
Peranan dasar upah minimum sangat diperlukan dalam hal memberikan perlindungan bagi pegawai/buruh berpenghasilan rendah yang dianggap rentan dalam pasar kerja. Mereka bisa terjamin pembayaran upahnya secara wajar. Hal ini memberikan perlindungan dasar pada struktur upah sehingga merupakan jaring pengaman terhadap upah yang terlalu rendah.
Perhatian pemerintah dalam hal upah minimum bagi pekerja sebagai instrumen kebijakan makro ekonomis untuk mencapai tujuan nasional berupa pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, serta pemerataan penghasilan. Pada umumnya, untuk menjamin agar pegawai/buruh menerima pada waktu dan tempat tertentu upah yang dianggap layak.
Para ulama fiqh kontemporer mendefenisikan upah layak adalah upah yang seimbang dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawabnya. Upah layak ini harus memperhatikan situasi dan kondisi yang terkait dengan tingkat inflasi dan indeks harga konsumen. Satu sisi tidak merugikan pihak pekerja dan di sisi lain tidak memberatkan pihak pengusaha atau pihak yang memperkerjakannya.
Sebahagian orang memahami, dalam persoalan upah hingga jual beli adalah keridhaan. Tak boleh ada intervensi pihak ketiga (pemerintah) kepada dua orang yang berjual beli. Berapapun harga jual beli yang disepakati penjual dan pembeli adalah sah. Demikian pula, berapapun upah yang disepakati majikan dan pekerja adalah sah. Selama keduanya sama-sama ridha.
Mereka berdalil dari riwayat dari Anas bin Malik RA yang mengadukan harga barang melambung tinggi kepada Nabi SAW. "Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami," pinta Anas. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah yang menentukan harga, yang mengendalikan, yang meluaskan rezki, dan aku ingin bertemu Allah tanpa ada seorang pun di antara kamu yang menuntutku atas kezhaliman terhadap jiwa maupun harta benda." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Hadis ini bisa menjadi dalil sebagian pihak bahwa agama dan pemerintah tak boleh turut campur dalam persoalan pasar. Hadis ini cendrung difahami bahwa Rasulullah SAW ingin membiarkan dinamika pasar berjalan secara alami tanpa ada intervensi.
Pendapat ini dibantah Ibnu Taimiyah. Pendapat ini tak sepenuhnya benar, apalagi jika sudah mengarah pada kezhaliman. Menurut Ibnu Taimiyah, kebijakan penentuan harga dapat masuk dalam berbagai kategori hukum. Ada yang dikategorikan zhalim dan haram, ada pula yang tergolong adil dan boleh. Apabila ketentuan tersebut bersifat merugikan dan menzhalimi orang dan memaksa mereka untuk menjual sesuatu dengan harga yang tidak mereka setujui secara suka rela, atau menghalangi mereka untuk memperoleh keuntungan yang dihalalkan Allah, maka tindakan itu haram.
Sebaliknya, bila ketentuan dan ketetapan itu bersifat adil demi kepentingan masyarakat, seperti memaksa mereka berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban mereka dengan imbalan yang layak dan melarang mereka melakukan sesuatu yang diharamkan atas mereka, maka hal ini dibenarkan bahkan bisa menjadi wajib bagi pemerintah. Misalnya, seperti me-mark up dan menaikkan harga di atas semestinya, maka tindakan penguasa seperti itu adalah dibenarkan.
Maksud dari hadis Anas tersebut, ketika penjual berlaku menurut cara yang semestinya tanpa merugikan dan mengeksploitasi orang lain. Ketika peminat suatu barang banyak sementara stok barang sedikit, maka berlakulah prinsip ekonomi, yakni harga akan naik. Dalam masalah ini, semua diserahkan kepada takdir Allah SWT. Jika penguasa (pemerintah) mengharuskan penjual untuk menjual barang dan jasanya dengan harga tertentu, ini menjadi pemaksaan dan tidak dibenarkan.
Adapun jika kondisinya seorang penjual menahan/ menimbun barang dagangannya ketika masyarakat sangat membutuhkan untuk mencapai harga tinggi, hal inilah yang tidak dibenarkan. Dalam kondisi pemerintah wajib memaksa untuk menjualnya dengan harga yang wajar. Ketika inilah sabda Nabi SAW berlaku, "Yang mendatangkan barang akan memperoleh rezeki, sedangkan yang menimbun akan dilaknat." (HR Ibnu Majah dan Hakim).
Demikian juga qiyasannya dalam peran pemerintah dalam menetapkan upah minimum bagi pekerja. Jika ketetapan tersebut memaksa para pengusaha agar memberi upah diluar upah yang wajar, hal ini tidak diperbolehkan. Tetapi jika kebijakan standar upah minimum tersebut untuk kemaslahatan dan pemeliharaan stabilitas ekonomi-sosial, maka hal ini diperbolehkan. Wallahu'alam.
Blogger Comment
Facebook Comment