oleh; H. Hannan Putra, Lc
Mimpi termasuk dalam perkara ghaib. Itulah alasannya kebanyakan
muballigh melarang untuk mencari takwil mimpi. Di samping langkanya
orang yang mengetahui seluk-beluk tafsir mimpi, penafsiran mimpi bisa
sangat rentan keliru. Bahkan orang sekaliber Abu Bakar RA pun tak begitu
pas ketika menakwilkan mimpi. Bagaimanakah sebenarnya fiqih dalam
menakwilkan mimpi?
Para ulama bersepakat akan kebolehan menceritakan mimpi dan meminta
penakwilan darinya. Menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari
mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang atheis saja. Namun dalam
menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan
merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.
Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur. Historis mimpi
dari nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber
hukum. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyemblih anak
kesayangannya karena meyakini perintah Allah SWT datang melalui
mimpinya. (QS as-Shaffaat [37]: 102).
Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal andal menakwilkan mimpi.
Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan
bintang yang sujud kepadanya. (QS Yusuf [12]: 4). Setelah itu, Nabi
Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya perdana Mentri Mesir
saat itu. Demikian dikisahkan Alquran dalam Surat Yusuf.
Setelah syariat Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak bisa lagi menjadi
hujjah untuk sebuah hukum sebagaimana terjadi di zaman Nabi Ibrahim AS.
Imam Asy-Syathibi menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi
secara syara’i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara
apapun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila
diperbolehkan maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan maka wajib
ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah
memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum
dengannya maka tidak boleh sama sekali." Demikian dipaparkannya dalam
Al-I’tisham (2/78).
Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi juga menambahkan, para ulama telah
bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Jadi mimpi
hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu
bisa juga menjadi ibrah (pelajaran) apabila sesuai dengan dalil syar’i
yang shahih. Demikian sebagaimana ia tulis dalam At-Tankiil (2/242).
Blogger Comment
Facebook Comment