photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Bolehkah Menjadikan Mimpi Sebagai Sumber Hukum?

oleh; H. Hannan Putra, Lc

Mimpi termasuk dalam perkara ghaib. Itulah alasannya kebanyakan  muballigh melarang untuk mencari takwil mimpi. Di samping langkanya orang yang mengetahui seluk-beluk tafsir mimpi, penafsiran mimpi bisa sangat rentan keliru. Bahkan orang sekaliber Abu Bakar RA pun tak begitu pas ketika menakwilkan mimpi. Bagaimanakah sebenarnya fiqih dalam menakwilkan mimpi?
Para ulama bersepakat akan kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan darinya. Menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang atheis saja. Namun dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.
Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur. Historis mimpi dari nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber hukum. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyemblih anak kesayangannya karena meyakini perintah Allah SWT datang melalui mimpinya. (QS as-Shaffaat [37]: 102).
Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal andal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya. (QS Yusuf [12]: 4). Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya perdana Mentri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran dalam Surat Yusuf.
Setelah syariat Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak bisa lagi menjadi hujjah untuk sebuah hukum sebagaimana terjadi di zaman Nabi Ibrahim AS. Imam Asy-Syathibi menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syara’i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apapun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali." Demikian dipaparkannya dalam Al-I’tisham (2/78).
Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi juga menambahkan, para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Jadi mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu bisa juga menjadi ibrah (pelajaran) apabila sesuai dengan dalil syar’i yang shahih. Demikian sebagaimana ia tulis dalam  At-Tankiil (2/242).
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment