photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Benarkah Wanita Lebih Afdhal Shalat di Rumah dari pada di Masjid?

Oleh: H. Hannan Putra, Lc




Banyak para muballigh yang menganjurkan kaum perempuan agar tidak ikut ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW kepada Ummu Humaid as-Sa'diyah, "Shalatnya salah seorang (perempuan) di makhda' (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama dari pada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku." (HR Ahmad).

Hadis yang di-hasan-kan Al-Albani ini juga menjadi dalil Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya soal shalat kaum perempuan. Manakah yang lebih utama, shalatnya kaum perempuan di rumah atau di Masjidil Haram yang keutamaannya 100 ribu kali lipat dibanding shalat di masjid biasa? Bin Baz tetap mengatakan, shalat kaum perempuan lebih utama di rumah saja.

Hal ini terkadang menuai kegelisahan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, merekalah yang paling bersemangat untuk shalat ke masjid. Fenomena di berbagai masjid, jamaah perempuan selalu mayoritas dibanding jamaah laki-laki. Sementara ketika mereka ingin shalat ke masjid, ada anjuran agar mereka lebih utama untuk shalat di rumah saja.

Para fuqaha memang berbeda pendapat dalam persoalan ini. Ulama Salafi lebih cendrung menghukum secara tekstual dari hadis tersebut. Sementara ulama kontemporer lebih cendrung mengkaji aspek mudharat-maslahat serta tinjauan fiqh aulawiyat (prioritas). Kebanyakan fuqaha mu'ashirah tetap menganjurkan kaum perempuan untuk shalat ke masjid sebagaimana kaum laki-laki.

Ulama kontemporer berpendapat, penekanan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tersebut bukan pada larangan ke masjid, tetapi perhatian kaum perempuan untuk lebih menjaga hijab. Makhda' lebih tertutup dari kamar. Kamar lebih tertutup dari rumah. Dan rumah lebih tertutup dari pada masjid kaumnya. Kemudian masjid kaumnya lebih tertutup daripada mesjid jami'. Berarti yang dimaksud hadis tersebut adalah penegasan agar kaum perempuan lebih memperhatikan penutup (sitr) pada saat shalat.

Selain itu, ulama kontemporer juga mengkaji asbabul wurud (latar belakang keluarnya hadis Nabi SAW) dari hadis riwayat Imam Ahmad ini. Menurut mereka, hadis ini dikeluarkan ketika maraknya gangguan yang dihadapi kaum muslimin dari orang-orang kafir. Tak jarang kaum muslimin mendapatkan pelecehan dan penistaan di tempat umum. Tentu saja kondisi rawan keamanan ini sangat berbahaya bagi kaum perempuan yang lemah secara fisik.

Adapun saat ini, tak ditemui lagi kondisi rawan keamanan sebagaimana zaman Rasulullah SAW dahulu. Maka dengan hilangnya 'illah berupa rawan keamanan, hilang pula hukumnya berupa anjuran shalat berjamaah lebih utama di rumah bagi perempuan. Jadi kaum perempuan tetap dianjurkan ke masjid selama aman dari fitnah dan bisa menjaga auratnya dengan baik.

Di zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan kerap hadir shalat berjamaah. Tentunya ketika kondisi aman lagi kondusif. Riwayat dari Aisyah RA, "Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah SAW. Mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap." (HR Bukhari Muslim)

Hadis sahih ini juga didukung banyak hadis sahih lainnya. Ummu Salamah RA juga menambahkan, "Di masa Rasulullah SAW, para wanita ikut hadir dalam shalat berjamaah. Selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka." (HR Bukhari).

Tak hanya kaum perempuan, bahkan diantara shahabiyah di masa Nabi SAW ada yang membawa bayi untuk ikut shalat berjamaah. Hadis dari Abu Qatadah Al-Anshari RA mengatakan, Rasulullah SAW pernah berniat ingin memanjangkan shalatnya. Namun tak lama Beliau SAW mendengar tangisan bayi. "Maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya," sabda Nabi SAW. (HR Bukhari).

Jadi, perbuatan melarang kaum wanita untuk ikut shalat berjamaah ke masjid adalah tindakan keliru. Hal ini juga bertentangan dengan hadis Nabi SAW, "jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya." (HR Bukhari Muslim).

Kendati demikian, hukum shalat berjamaah di masjid bagi kaum perempuan tidaklah wajib sebagaimana pendapat masyhur yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (3/125) mengatakan, tak ada perselisihan di kalangan ulama dalam hal tidak wajibnya kaum perempuan untuk hadir shalat berjamaah di masjid. Menurut Imam Nawawi, hukumnya bukan fardhu ‘ain bukan pula fardhu kifayah. "Akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka," demikian menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/188).

Kaidah asalnya kaum perempuan dihukum mustahabbah untuk ikut shalat berjamaah ke masjid. Apalagi selepas shalat juga ada wirid pengajian. Tentu hal inilah yang lebih utama mengingat ada aspek ibadah dan tarbiyahnya. Namun jika shalatnya kaum perempuan di masjid mengundang fitnah, rawan keamanan, serta uzur lainnya, maka kembali kepada hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad tadi. Shalat kaum perempuan lebih utama di makhda'nya dalam kondisi tersebut.

Fitnah yang dimaksudkan, jika mengundang ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan perempuan walau mereka berada di masjid atau tidak tersedianya tempat yang tertutup sitr di ruangan masjid. Demikian juga jika si perempuan tersebut mengundang perhatian karena cantik dan sebagainya.

Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Hambali memakruhkan wanita cantik untuk shalat berjamaah ke masjid. Yang demikian jika kecantikannya mengundang fitnah bagi jamaah laki-laki. Bahkan, Imam Malik secara tegas melarang wanita cantik dan kaum perempuan yang bertabarruj (berhias secara berlebihan) untuk shalat di masjid jika diyakini akan menimbulkan fitnah bagi jamaah laki.

Imam Malik berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Setiap wanita muslimah dari golongan mana saja yang terkena atau memakai wangi-wangian maka hendaklah tidak mengerjakan shalat isya bersama kami." (HR Muslim). Tentu saja larangan ini bukan hanya untuk shalat isya saja, tapi seluruh shalat fardhu yang dilaksanakan.

Intinya, selama wanita aman dari fitnah dan pengaruh-pengaruh negatif, mereka disunnahkan shalat berjamaah ke masjid. Adapun jika mereka ingin shalat di rumah, mereka tetap mendapatkan ganjaran pahala shalat berjamaah. Wallahu'alam.



Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment