oleh; H. Hannan Putra, Lc
Dalam interaksi sosial, bersalaman dengan lawan jenis non-mahram terkadang sulit dihindari. Mereka yang memahaminya haram, bahkan tak jarang malah menimbulkan mudharat (keburukan) yang lebih banyak. Tangan yang tak dijabat tentu saja menyinggung hati pemiliknya. Karena sakit hati, banyak hal-hal negatif lainnya yang berentet setelahnya.
Ada pula muballigh yang sangat moderat dan tak mempermasalahkan mereka yang berjabat tangan antar lawan jenis. Menurut mereka kuncinya hanya di hati. Selama tak ada niat apa-apa, tak dipersoalkan. Hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya setiap amalan (tergantung) niatnya." (HR Bukhari Muslim). Namun siapa sangka, banyak pula maksiat yang berawal dari sentuhan tangan. Bagaimana syariat memandang persoalan ini?
Ulama kontemporer, Dr Yusuf Qardhawi dalam kumpulan fatwanya mengatakan, persoalan berjabat tangan merupakan persoalan serius yang harus difahami para mufti (ulama yang mengeluarkan berfatwa). Tidak hanya dari segi nash nya saja, tapi qarinah (latar belakang) yang melandasi fatwa tersebut juga menimbang aspek maslahat dan mudharatnya. Inilah yang dikaji Qardhawi dalam fiqh Aulawiyat (prioritas) nya.
Hukum asal dari bersalaman dengan lawan jenis non-mahram adalah haram. Hal ini berdalil dari hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya." (HR Thabrani dan Baihaqi).
Istri Beliau SAW, Aisyah RA juga menegaskan, "Demi Allah, segala hal yang Rasulullah SAW tetapkan bagi wanita, maka hal itu adalah perintah dari Allah SWT. Dan tangan Rasulullah tidaklah menyentuh tangan wanita. Dan perlu diketahui, bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram akan menimbulkan kerusakan yang sangat banyak."
Mazhab fiqh yang empat juga sepakat mengharamkan bersentuhannya laki-laki dengan wanita ajnabi (non-mahram). Mazhab Hanafi mengharamkan secara mutlak. Walau kedua orang yang bersalaman merasa dirinya aman dari syahwat. Demikian pula Mazhab Maliki. Ulama Mazhab Syafi'i memberikan pengecualian jika memang dalam kondisi darurat, seperti tindakan operasi yang dilakukan dokter terhadap pasiennya, dan sebagainya. Mazhab Hanbali memperbolehkan laki-laki memandang wanita yang sudah lanjut usia, tetapi tetap tak boleh menyentuhnya.
Jika berpedoman pada pendapat ulama-ulama salaf, memang tak ada toleransi yang memperbolehkan untuk berjabat tangan dengan non-mahram. Namun ulama kontemporer mengembangkan hukum fiqh ini kepada fiqh aulawiyat. Persoalan dirasa tak cukup jika hanya memakai hukum asalnya saja.
Orang yang terpaku pada hukum asal dalam persoalan ini kerap dipandang kolot dan fundamentalis. Banyak kalangan wanita yang tersinggung. Sikap tak mau bersalaman dengan wanita ajnabi juga dianggap merendahkan wanita. Seakan selalu berprasangka buruk kepada para wanita, dan sebagainya.
Menurut Qardhawi, dalam fiqh aulawiyat ada dua toleransi yang diberikan dalam persoalan ini. Pertama, pengharaman hukum berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak. Baik pihak laki-laki atau wanita. Atau di belakang itu dikhawatirkan akan terjadinya fitnah.
Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya -yang pada asalnya mubah itu—bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Kedua, dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki. Demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki. Karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa dia pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Hal ini diambil Qardhawi sebagai dalil, walau banyak kalangan yang mendha'ifkan riwayat ini.
Hal ini sudah ditunjukkan Alquran dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain.
Allah SWT berfirman, "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui." (QS an-Nur [24]: 60).
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah Al-Anshariyah RA, Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat. Berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Lalu sikap seperti apa yang harus dijalankan seorang muslim dan muslimah ketika mendapat uluran tangan lawan jenis yang non-mahram kepadanya? Qardhawi menekankan dua hal dalam persoalan ini untukmengambil sikap. Pertama, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan apabila tidak disertaidengan syahwat serta aman dari fitnah.
Di samping itu aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satunya atau bahkan keduanya, maka keharaman berjabat tangan tidakdiragukan lagi.
Seandainya syarat ini tidak terpenuhi, yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah, meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan, berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Syarat kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka. Dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW.
Tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain yang bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat. Namun, yang lebih utama bagi seorang Muslim atau Muslimah yang komitmen pada agamanya, janganlah memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya. Wallahu'alam
Blogger Comment
Facebook Comment