Banyak beredar di broadcast media instan, media sosial, serta pemberitaan media daring seputar himbauan Kementrian Agama untuk mengoreksi arah kiblat. Rilis ini juga diikuti himbauan-himbauan bersifat tahzir berupa ancaman. Bahkan ada yang mempersoalkan keabsahan shalat dipengaruhi ketepatan arah kiblat.
Surat Kementrian Agama RI:
Jujur saja, saya agak alergi dengan persoalan-persoalan seperti ini. Pasalnya, jika arah kiblat ternyata melenceng sedikit, maka akan timbul pertengkaran di masyarakat. Ada yang sampai merombak masjid yang sudah dibangun dengan dana yang tidak sedikit. Sehingga, dana yang harusnya digunakan secara efisien terpaksa terpakai untuk merombak arah kiblat masjid. Ada juga pengurus masjid yang terpaksa membuat arah shaf masjid menjadi miring sehingga masjid tak lagi enak untuk dipandang. Alkisah, kakek saya Buya Nasharuddin Jarum sempat dipenjara gara-gara arah kiblat yang melenceng ini. Bagaimana duduk hukum fiqhnya?
Dalam Alquran, ayat yang menjadi rujukan arah kiblat ada di dalam Surat al-Baqarah [2]: 149.
Firman Allah SWT, "(وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ)
"Dan kemana pun kamu keluar (berada) maka palingkanlah wajahmu ke "syathr" al-Masjid al-Haram."
Kata "syathr" di dalam Mu'jam al-Ma'ani al-Jami' berarti setengah dari sesuatu. Bisa juga diartikan dengan arah, objek, dan lainnya. Jika dalam konteks ini diartikan dengan arah, dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak akurat. Misalkan seseorang megatakan, "arahnya ke barat, mengarah ke gunung, dan sebagainya." Yang dinamakan arah tentu bermakna "nakirah" (umum).
Dalam lafadz ayat ini, Allah SWT memakai kata "al-Masjid al-Haram". Para ulama menafsirkan, shalat orang yang ada dalam Masjidil Haram menghadap ke Ka'bah. Shalat orang yang di Kota Makkah menghadap ke Masjidil Haram. dan Shalat orang di luar Kota Makkah menghadap ke Kota Makkah. Artinya, tidak mesti orang yang berada di negeri jauh seperti di Indonesia harus menghadap ke Ka'bah persis. Inilah salah satu rukhsah (kemudahan) yang diberikan Allah SWT. Sehingga orang-orang terdahulu yang belum mengenal teknologi seperti akurasi lokasi, GPS, atau google map, tetap bisa melaksanakan shalat.
Sumber hukum lainnya yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadis hasan sahih yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
"Antara timur dan barat adalah kiblat." (HR. al-Tirmidzi no. 345)
Menurut Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunannya berlaku terhadap ahl al-masyriq (orang di timur). Timur dalam hal ini bukan asia tenggara, teapi mencakup wilayah Syam dan Iraq yang berada di utara Makkah. Berdasarkan hadis ini sahabat Nabi SAW, Ibnu Umar mengatakan, "Apabila engkau menjadikan bagian kananmu ke arah barat, kirimu ke arah timur, maka di antara keduanya adalah kiblat." (Sunan al-Tirmidzi no. 345)
Jika diqiyaskan dengan posisi Muslim di Indonesia, maka ما بين الشمال والجنوب قبلة (Antara utara dan selatan adalah qiblat) sebagaimana orang Iraq dan Syam menjadikan antara timur dan barat sebagai qiblat. Ini dikarenakan Indonesia berada di arah timur Makkah.
Perlukah mengganti arah kiblat jika ternyata melenceng sedikit?
Semua kita sepakat bahwa dalam beramal maka yang menjadi dalil adalah al-Quran dan Sunnah. Tanpa kecuali penentuan arah kiblat yang menjadi syarat sah salat. Persoalan ini sebenarnya sudah muncul tahun 2010 lalu. Saat itu, kementrian Agama RI memfatwakan perubahan arah kiblat berdasarkan google earth.
Apakah semua asumsi dan fatwa itu mengikat dan mesti diikuti? Jawabannya tentu tidak, karena fatwa adalah ijtihad. Ijtihad tidaklah suci. Produk ijtihad bisa saja salah. Jangan disamakan sebagaimana al-Quran dan Hadis Nabi SAW.
Fatwa dari Kementrian Agama sebelumnya juga pernah mengatakan, tidak perlu merubah arah kiblat masjid di Indonesia. Ini dikarena arah kiblat umat Islam Indonesia cukup menghadap ke barat. Pernyataan seperti ini pun juga fatwa. Jadi silahkan umat Islam mengikuti fatwa pertama atau kedua.
Jadi, shalat umat Islam di Indonesia tetap sah meskipun tidak menghadap ke arah Ka'bah secara akurat. Jika ada masjid di Indonesia yang berpatokan kiblat hanya menghadap ke barat, hal ini juga sah dan diperbolehkan. Tetapi jika ingin merubahnya agar lebih tepat, maka lakukanlah dengan cara yang baik, tanpa pertengkaran dan permusuhan di antara pengurus dan jamaah masjid.
Permusuhan dan pertengkaran adalah hal yang diharamkan. Sementara mengoreksi arah kiblat ini hanyalah sebatas anjuran saja.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Firman Allah SWT, "Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah Yang Mahatahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]: 125).
Referensi
Tulisan Ustadz Arrazy Hasyim, Perlukah Mengganti Arah Kiblat?
Press Release Rashdul Kiblat 27 Mei 2016
Blogger Comment
Facebook Comment