photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Etika Broadcast di Media Sosial


Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith adalah orang yang mendapat kepercayaan dan diutus Nabi SAW untuk memungut zakat dari kaum Bani Musthaliq. Dalam perjalanan, ia mendengar desas-desus akan adanya perlawanan dari kaum tersebut. Akhirnya, si Walid ini memutuskan kembali ke Madinah. Ia mengarang cerita palsu, bahwa penduduk Bani Musthaliq yang dikomandoi oleh Al-Harits menolak membayarkan zakat serta mengadakan perlawanan. Padahal, kakinya tak pernah menginjak wilayah Bani Musthaliq.

Menanggapi laporan sedemikian dari Walid bin Uqbah, Rasulullah SAW pun mengirim pasukan ke Bani Musthaliq. Ternyata apa yang dilaporkan Walid bertolak belakang dari realita yang sebenarnya terjadi. Justru masyarakat Bani Musthaliq menyambut mereka dengan suka cita. Mereka berduyun-duyun mengeluarkan zakat dan sadaqah mereka. Hampir saja terjadi perperangan karena ulah si Walid bin Uqbah yang mengarang cerita palsu.

Inilah asbabun nuzul dari Surat Al-Hujurat [49] ayat 6. Firman Allah SWT, " Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah." Orang beriman diperintahkan agar berhati-hati dalam menerima informasi. Bisa jadi karena sembrono mencerna informasi bisa berdampak buruk bagi dirinya dan kaum muslimin pada umumnya.

Cerdas dalam mengolah suatu informasi adalah ciri khas orang beriman. Islam mengajarkan bahwa validitas suatu informasi menjadi acuan utama. Lihatlah bagaimana apiknya para ulama-ulama dalam mengkaji hadis-hadis Nabi SAW. Contohnya saja Imam Bukhari dalam meneliti hadis-hadis Rasulullah SAW. Beliau pernah medha'ifkan hadis salah seorang musnid hadis karena menurut pandangannya si musnid dinilai berakhlak buruk.

Ketika ditemui Imam Bukhari, si musnid tersebut tengah memanggil ayam untuk diberi makan. Ternyata tangan si musnid tersebut kosong (tidak berisi makanan). Ayam yang telah mengerubungi tangannya tentu kecewa karena si tuan telah memberi harapan palsu. Hanya karena persoalan sederhana ini saja, Imam Bukhari langsung mendha'ifkan hadisnya.

Padahal kalau dipikir-pikir, apa kaitannya validitas hadis Rasulullah SAW dengan memberi harapan palsu pada beberapa ekor ayam? Tapi menurut Imam Bukhari, seorang yang akan ia jadikan sumber hadis Nabi SAW yang mulia tak boleh berakhlak buruk. Jika kepada ayam saja dia berakhlak buruk, dikhawatirkan ia akan menambah-nambah atau mengurangi matan hadis Nabi SAW.

Ilustrasi Tabayyun:

Dalam ilmu musthalahul hadis ditemui banyak sekali tingkatan-tingkatan validasi hadis Nabi SAW. Hal ini menunjukkan apiknya kajian ulama tentang validitas sebuah hadis Nabi SAW. Bagi mereka, lebih baik mengabaikan suatu hadis daripada memakai hadis yang ternyata palsu. Sebagaimana tindakan Abu Bakar RA yang membakar sedikitnya 500 catatan riwayat-riwayat hadis Nabi SAW. Tindakan itu dilakukan Abu Bakar RA hanya karena meragukan validitas dari riwayat tersebut (Bihar al-Anwaar, jilid.1,m/s.117).

Mengapa mereka sedemikian apiknya soal validitas hadis-hadis Nabi SAW? Karena ada ancaman Nabi SAW terkait validitas hadis-hadis Beliau SAW. Dari Abi Hurairah RA, Sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka." (HR Bukhari Muslim).

Tidak main-main, siapa yang coba-coba membuat hadis palsu atau menyebarkan hadis palsu, ancamannya neraka! Tak peduli dia seorang ulama, seorang alim, atau seorang mufti (ahli fatwa) sekalipun. Jika ia membuat hadis palsu atau mengarang-ngarang riwayat bohong tentang Nabi SAW, tempat mereka di neraka. Inilah yang ditakutkan para sahabat Nabi SAW dan ulama seperti imam Bukhari.

Lihatlah, betapa tingginya penghargaan agama ini kepada validitas suatu informasi. Hanya orang-orang fasik dan mereka yang tidak memahami Islam dengan baik yang sembrono mengkopy-paste suatu informasi tanpa jelas sumbernya. Dahulu, syiar Islam menjadi rusak karena banyaknya hadis-hadis palsu yang beredar. Tak ubahnya saat ini. Syiar Islam dirusak oleh broadcast hoax dan berita palsu dari media-media daring.

Saat ini, di mana teknologi informasi dan komunikasi tumbuh sedemikian pesatnya. Apapun yang terjadi detik ini sangat gampang tersebar ke penjuru dunia. Tak peduli berita asli atau palsu, mudah tersebar ke mana-mana. Rumus umat Islam tetaplah sama. Yakni, mengedepankan sikap tabayyun sebagaimana yang diajarkan Alquran Surat Al-Hujurat [49] ayat 6. Harus ada klarifikasi, cek dan ricek akan validitas informasi tersebut. Apakah memang benar atau bohong. Barulah informasi tersebut diyakini atau disebarkan.

Hampir setiap hari saya mendapati di media daring, grup-grup WhatsApp, Blackberry Messanger (BBM), Twitter, dan media sosial lainnya orang-orang penyebar berita hoax. Banyak dari mereka yang bahkan sudah punya pemahaman agama yang baik. Banyak pula diantara mereka adalah muballigh dan da'i. Tidak terbayangkan jika mereka menjadikan berita hoax tersebut sebagai bahan ceramah yang akan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat awam.

Yang membuat saya mengurut dada, ternyata sumber dari berita hoax tersebut terkadang para muballigh itu sendiri. Apa alasan anda? Apakah ingin popularitas dan terkenal? Agar orang banyak mengenal anda? Atau untuk tujuan komersil? Atau anda ingin merusak umat ini? Atau hanya untuk kesenangan semata? Mengarang-ngarang hadis palsu untuk memotivasi orang beribadah saja ancamannya neraka, apalagi mengarang-ngarang cerita palsu untuk tujuan kesenangan semata.

Ketika tragedi Suriah, sempat-sempatnya ada yang membuat berita hoax yang "memperjual-belikan" akhwat-akhwat Suriah untuk dinikahi. Cukup dengan mahar Rp 17 juta sudah bisa "membawa pulang" si akhwat Suriah nan cantik jelita. Tujuannya apa? untuk memanas-manasi mereka yang belum menikah? Untuk kesenangan belaka?

Ada pula yang menyebar potret seorang relawan ACT yang bersimbah darah. Judulnya, si relawan tersebut tewas saat bertugas di Suriah. Padahal si relawan hanya membuat aksi panggung di acara car free day Jakarta. Weleh-weleh.. Apa maksud anda membuat berita propaganda seperti ini? Dan bagi anda yang langsung percaya saja dengan berita ini, tidakkah rasa simpati anda menuntun anda untuk googling sebentar mencari keabsahan berita itu?

Publikasi dari berita-berita hoax semacam ini sebenarnya dari dahulu sudah ada. Ada saja orang yang hobinya menyebar berita palsu. Mereka gembira jika menimbulkan kepanikan di masyarakat karena ulahnya. Demikian juga, ada saja dari masa ke masa orang yang percaya dengan berita-berita hoax. Mereka kemudian ikut menyebarkan berita-berita hoax tersebut.

Ketika saya masih duduk di bangku kelas 1 SMP, ketika itu ada selebaran yang mengatasnamakan pesan Rasulullah SAW melalui mimpi kepada Syaikh Ahmad si penjaga makam Rasulullah. Pesan tersebut disertai ancaman. Siapa yang tidak mengkopy sebanyak 10 lembar dan menyebarkan pesan tersebut akan terkena petaka.

Logika anak-anak saya waktu itu berfikir, kok syiar Islam pake ancam-ancaman segala? Untunglah ustadz-ustadz saya mengingatkan waktu itu. Mengajarkan saya untuk bertabayyun dan berfikir sehat atas segala informasi yang saya terima. "Pintar-pintarlah memilah dan memilih informasi," pesan sang Ustadz. Ringkasnya, waktu itu saya terselamatkan dari berita-berita hoax tersebut.

Uniknya, belum lama ini saya kembali menemui berita hoax yang mengatasnamakan Syaikh Ahmad tersebut. Tapi versinya lebih modern. Kalau dulu, penyebarannya harus difotocopy sebanyak 10 buah kemudian disebarkan. Kalau sekarang cukup di foward ke 10 orang melalui broadcast BBM, WA, dan media sosial lain. Saya berfikir, ternyata informasi hoax seperti ini tidak pernah basi walau sudah berpuluh-puluh tahun. Masih ada saja yang melanjutkannya hingga hari ini.

Sebagai orang media, saya mengerti bagaimana sibuknya portal-portal berita yang berlomba-lomba mengejar rating. Berita dibuat sedemikian menarik, memancing orang untuk mengklik, hingga menyebarkan berita tersebut. Semakin banyak orang yang mengklik, semakin naik pula ratingnya. Semakin tinggi ratingnya (misalkan alexa.com), semakin tinggi pula penghasilannya melalui iklan (seperti adsense, dll).

Sayangnya, mereka mengenyampingkan soal validitas suatu berita. Bahkan media Islam pun hampir sama saja. Mereka berpacu mengejar rating. Setiap redaktur dibebankan tugas harus mengunggah sekian puluh berita per hari. Terkadang mereka tidak membaca dengan teliti berita-berita yang ditulis reporternya. Terkadang mereka asal main comot berita dari portal berita lain yang tak jelas validitasnya.

Apakah media Islam juga seperti ini? Saya jawab iya, walau tidak 100 persen yang seperti itu. Masih tersisa satu-dua persen yang masih hanif. Apa alasan mereka? Katanya, Media Islam juga berkeinginan agar tidak ketinggalan rating dari media konvensional.

Saya heran, ini bisnis atau dakwah? Mengapa harus takut rating, takut kurang gaji, takut kalah saing. Tidakkah anda yang berkecimpung di media Islam meyakini bahwa Allah SWT lah yang menjamin rezeki? Intanshurullaha, yansurkum! Jika kalian adalah penolong agama Allah, maka Allah-lah yang menyatakan diri sebagai penolong duniawi kalian.

Ikhwati fillah, jadilah muslim yang cerdas dan cermat dalam menerima informasi. Jangan menelan mentah-mentah setiap kabar berita yang datang kepadamu. Gunakan akal sehatmu dan logika cerdasmu untuk mengolah informasi tersebut. Kemudian, carilah sumber-sumber lain untuk mengklarifikasi berita tersebut.

Jika memang berita tersebut teruji validitasnya dan bisa dipertanggungjawabkan, barulah diyakini atau disebarluaskan. Cantumkan sumber informasinya, agar orang yang menerimanya darimu bisa juga melakukan tabayyun. Namun, jika  berita tersebut tidak jelas asal-usulnya, abaikan saja.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment