photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Berduaan dengan Tunangan, Bolehkah?

Oleh: H. Hannan Putra, Lc

Dalam adat-istiadat masyarakat, sepasang insan yang bertunangan telah dianggap "sudah separuh jalan" dalam menjalani tahapan pernikahan. Mereka berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Tidak  boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (HR Bukhari Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa tak ada kesempatan lagi bagi laki-laki lain untuk meminang wanita yang sudah dipinang. Apalagi wali perempuan sudah menyetujui pinangan tersebut baik melalui lisan atau kiasan. Jadi ada yang menyimpulkan, seakan sepasang calon suami-istri yang sudah masuk proses khitbah (bertunangan) tinggal menunggu hari saja untuk benar-benar "legal" seratus persen.

Apalagi, beberapa proses dalam khitbah itu sendiri membolehkan rukyah (melihat) calon suami atau istri. Beberapa pendapat bahkan membolehkan untuk melihat calon istri walau tanpa kerudung, tanpa sepengetahuannya ataupun tidak. Hal ini juga menjadi alasan bagi mereka yang sudah bertunangan agar bisa berinteraksi lebih dari batas yang biasanya. Termasuk juga untuk berkhalwat (berduaan). Apakah benar demikian?

Seluruh ulama bersepakat, sebelum proses zawaj (pernikahan) yang ditandai dengan akad nikah terlaksana, calon suami-istri tetaplah orang asing. Imam Nawawi menegaskan, proses khitbah hanya sekedar pengumuman menyampaikan keinginan untuk menikahi seorang wanita. Calon suami-istri dan dua keluarga yang akan melangsungkan pernikahan tak mempunyai ikatan apa-apa. Keduanya mempunyai khiyar (pilihan) untuk terus melanjutkannya hingga ke jenjang pernikahan atau membatalkannya.

Demikian juga bagi calon suami-istri yang telah melangsungkan proses khitbah tak mempunyai hak dan tanggungjawab apa-apa. Baik dalam perspektif adat, agama, dan undang-undang, mereka tak punya ikatan apapun. Logikanya, dalam proses khitbah tak ada mahar yang diterima calon istri. Calon suami bisa membatalkan khitbah dan pergi begitu saja tanpa konsekwensi apapun. Jadi bagaimana mungkin calon istri bisa menghalalkan dirinya bagi laki-laki yang belum punya ikatan apapun dengan dirinya?

Sedangkan akad nikah, diambil dari kata 'aqdu atau akad yang berarti ikatan. Ikatan ini disebut Alquran sebagai "mitsaqan ghalizha" (ikatan yang sangat kuat) karena mencakup hak-kewajiban suami-istri, syarat dan rukun pernikahan, batas-batas syariat soal pernikahan, hingga akibat-akibat yang akan ditanggung jika mengabaikan ikatan tersebut. Ketika aqad dibacakan barulah suami-istri yang semula haram menjadi halal. Inilah perbedaannya dengan khitbah.

Adab dan tata cara khitbah pun diatur dalam Alquran. Firman Allah SWT, "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Maka janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar  mengucapkan  (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis ‘iddahnya." (QS al-Baqarah [2]: 235).

Secara umum, ayat ini sebagai petunjuk bagaimana adab berkomunikasi bagi orang yang akan melamar. Bolehnya komunikasi bagi mereka yang akan menikah hanya sebatas menyampaikan perkataan yang ma'ruf (kebaikan). Bahkan orang yang masih dalam masa iddah tak boleh di lamar, kecuali sebatas sindiran saja.

Jadi, bagaimanapun megah dan formalnya seremonial dalam melangsungkan khitbah, hal ini tak akan menggeser hukum berinteraksi antara calon suami-istri tersebut sedikitpun. Proses khitbah hanya sebatas menghalangi lelaki lain untuk meminang.

Tak dijumpai dalil sarih (jelas) yang membolehkan orang yang sudah bertunangan untuk berkhalwat. Sebagaimana haram bagi mereka berkhalwat sebelum khitbah, demikian juga haramnya setelah khitbah. Walau sudah bertunangan, suami-istri tersebut masih "orang asing" dalam pandangan syariat. Hendaklah mereka bersabar dan menahan diri hingga memasuki proses akad nikah.

Adab Islami dalam khitbah tidak memperbolehkan waktu yang lama antara khitbah dan nikah. Ketika sepasang calon suami-istri sudah berkhitbah, proses selanjutnya adalah menikah. Jika ada waktu yang lama, dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Bahkan, bisa berpotensi menjatuhkan calon pasutri tersebut pada perzinahan.

Berlama-lama dalam proses tunangan, menunda-nunda pernikahan setelah bertunangan, serta membiarkan sepasang tunangan untuk pergi berdua-duaan adalah kebatilan. Kebatilan ini tidak hanya akan merusak diri mereka dan rumah tangga mereka kelak, namun juga bagi dua keluarga yang akan disatukan dalam perkawinan.

Beberapa tradisi dan adat nusantara seperti di Jawa dan Sumatera memahami hal ini. Dalam tradisi tersebut, wanita yang sudah dikhitbah akan dipingit di rumahnya sampai selesai proses akad nikah. Calon pasutri tersebut dilarang berkomunikasi dalam bentuk apapun. Biarlah kerinduan keduanya lantaran harus sabar menahan diri sebagai pemanis di awal rumah tangga mereka.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment