Istighfar berasal dari kata gafr yang berarti tutupan atau ampunan.
Seorang yang beristighfar berarti memohon kepada Allah SWT agar
dosa-dosanya yang telah lalu diampuni dan ditutupi Allah.
Pakar leksikografi Islam dan ilmu kalam, Ali bin Muhammad as-Sayyid
as-Sarif Jurjani, mengatakan, maghfirah berarti penutupan atau
pengampunan yang dilakukan oleh Yang Mahakuasa terhadap kejahatan yang
timbul dari seseorang yang berada di bawah kekuasaan-Nya.
Rasulullah SAW sendiri sangat banyak menganjurkan untuk memohon ampunan
Allah SWT di samping Rasul sendiri senantiasa memberikan teladan dengan
banyak beristighfar.
Ibnu Qayyim Jauziah mengisyaratkan, makna ampunan itu amat luas, bukan
hanya sekadar untuk menghapuskan dosa, melainkan juga sebagai pemelihara
manusia dari dosa.
Hal ini merujuk pada hadis yang menjelaskan Rasulullah beristighfar 70
kali dalam riwayat Bukhari. Sementara, dalam riwayat Muslim 100 kali,
meski pribadi Rasulullah maksum dari dosa.
Bertolak dari pandangan di atas, Ibnu Qayyim Jauziah ketika membicarakan
masalah tobat, mengisyaratkan maghfirah bukan hanya mempunyai satu
bentuk, melainkan memiliki beberapa bentuk dan tingkatan, di antaranya
adalah: (1) maghfirah sebagai pengampunan dosa; (2) maghfirah sebagai
sarana untuk mendapatkan pahala dan rahmat Allah SWT; (3) maghfirah
sebagai sarana untuk mendapatkan ridha Allah SWT; dan (4) maghfirah
sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT.
Memohon ampun
Jika kita telanjur melakukan perbuatan dosa besar, ada empat hal yang
harus dilakukan dalam pertobatan. Pertama, meninggalkan perbuatan
maksiat. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan.
Ketiga, berniat tidak akan kembali melakukan maksiat pada masa yang akan
datang untuk selama-lamanya. Keempat, jika dosa besar yang dilakukan
seseorang terkait dengan hak-hak manusia (huquq Adam), ia harus
mengembalikan hak orang lain tersebut.
Jika dalam perbuatan dosanya terdapat hak-hak Allah SWT (huquq Allah),
ia harus menunaikan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan Islam.
Misalnya, seseorang yang melakukan dosa zina, ia harus menjalani
hukuman, yakni didera sebanyak seratus kali. Dan jika pelaku zina itu
orang yang sudah menikah, ia harus menerima hukuman rajam. Dengan
terlaksananya hukuman tersebut, barulah dosanya akan diampuni Allah SWT.
Di dalam hadis yang diriwayatkan Imran bin Husain disebutkan, “Bahwa
seorang perempuan dari suku Juhainah yang sedang hamil karena berzina
telah datang kepada Nabi Muhammad SAW sembari berkata, 'Hai Nabi Allah,
saya harus menjalani hukuman (karena zina), maka lakukanlah hukuman itu
atasku.'
Rasulullah SAW mengimbau walinya sambil berkata, 'Berlaku baiklah
kepadanya. Apabila dia telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.'
Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan agar pakaiannya diperketat, lalu
beliau memerintahkan merajamnya, dan beliau melakukan salat jenazah atas
(mayat)-nya.
Umar bin Khattab bertanya, 'Mengapa engkau melakukan salat jenazah
atasnya Hai Rasulullah, bukankah ia telah berzina?' Rasulullah SAW
menjawab, 'Dia telah bertobat dengan suatu tobat, yang seandainya
dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya mereka akan
diliputinya. Dan, apakah engkau mendapatkan yang lebih baik daripada
orang yang menyerahkan dirinya untuk Allah?’' (HR Muslim).
Dalam mengomentari hadis ini, Muhammad bin Isma'il Kahlani as-San'ani
mengatakan, hadis ini menjadi dalil bahwa tobat tidak menghilangkan
kewajiban menerima hukuman. Inilah pendapat yang paling kuat di antara
dua pendapat dalam Mazhab Syafii’i dan ini pula pendapat jumhur ulama.
Berkenaan dengan cara meminta ampun bagi pelaku dosa kecil, orang yang
lalai dalam mematuhi perintah Allah SWT atau orang yang tidak peduli
terhadap amal-amal utama tidak berbeda dengan cara meminta ampun bagi
pelaku dosa besar.
Hanya saja, pelaku dosa kecil tidak sampai mendapatkan hukuman berat
seperti pelaku dosa besar. Di samping itu, ia juga harus melakukan
perbuatan-perbuatan baik dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang lain
sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis.
Seperti yang dianjurkan Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Tirmizi.
"Iringilah kejahatan dengan kebaikan, niscaya ia (kebaikan) akan
menghapuskannya (kejahatan).”
Permohonan maghfirah yang dilakukan sebagai sarana untuk mencapai ridha
Allah SWT atau sebagai bukti ketaatan kepada-Nya ialah dengan cara
senantiasa beristighfar sekalipun merasa tidak melakukan dosa.
Blogger Comment
Facebook Comment