oleh H. Hannan Putra, Lc
Pada tahun 150 Hijriyah/ 767 Masehi, lahirlah seorang anak miskin lagi yatim di sebuah sudut kota di Gaza Palestina. Tidak hanya sekedar miskin, keluarga mereka pun jauh dari sanak kerabat. Hingga lengkaplah rasanya perihnya kemelaratan hidup yang menimpa si ibu dan bayi mungilnya itu.
Akhirnya, untuk mencari kehidupan yang lebih baik, si ibu membawa putra mungilnya datang ke Kota Makkah. Anaknya yang masih kecil disekolahkan di sebuah sekolah agama tanpa ada biaya sedikitpun. Seperti dikisahkan dalam Tawali at-Ta’sis, anak itu pun mulai menghafal Alquran di pojok masjid. Satu persatu hadis Nabi pun berhasil dihafalnya.
Hingga suatu hari, seorang guru besar di sekolah itu, Imam Maliki datang mengajar mereka. Sang Imam pun membacakan kitabnya yang fenomenal Al Mawattha'. Para santri pun menyimak dengan seksama. Namun, si anak miskin dari Gaza tadi berbeda dari rekan-rekannya. Tatkala rekan-rekannya yang lain sibuk menyimak sang guru, ia ternyata sibuk dengan mainannya sendiri.
Si anak itu sibuk mengambil ujung tikar masjid. remah-remah tikar tersebut ia gulung, kemudian ia beri ujungnya dengan air ludahnya. Setelah itu, ia pun sibuk dengan mainan barunya itu. Imam Maliki cukup terganggu dengan tingkah polah si anak tadi. Namun ia membiarkannya hingga pelajaran usai.
Setelah pelajaran selesai, anak tadi pun dipanggilnya. "Wahai anakku, mengapa engkau bermain-main ketika aku menerangkan pelajaran?" tanya sang Imam.
Dengan mata dan wajah polosnya, ia mencoba menjawab pertanyaan gurunya. "Aku tidak bermain-main wahai tuan guru," jawabnya.
"Lantas, apa yang tadi engkau lakukan itu?" timpal sang Imam.
"Wahai tuan guru. Saya hanya seorang anak miskin dari ujung kampung. Orang tua saya tidak mampu membelikan saya peralatan sekolah. Jadi saya membuat sendiri 'pulpen' saya untuk menulis. Saya mengambil ujung tikar, kemudian saya gulung dengan kedua tangan saya. Itulah yang saya jadikan sebagai pulpen. Sebagai dawatnya, saya berikan air ludah saya di ujungnya. Dengan itulah saya mencatat pelajaran," papar sang anak.
Imam Maliki pun heran. Ia lalu menguji si anak tadi, apakah benar ia memperhatikan dan mencatat pelajaran. Ternyata, muridnya itu mampu menyebutkan uraian kitab Al Mawattha' secara gamblang dan lancar, tanpa tertinggal satu huruf pun.
Siapakah anak itu? Itulah Imam Syafi'i Rahmatullahu 'Alaihi. Seorang imam besar sepanjang zaman, ternyata dulunya hanyalah seorang anak miskin yang tak mampu membeli peralatan sekolah.
Seperti dikisahkan dalam kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah (Jilid 1/halaman 263), Imam Syafi'i telah hafal Alquran di usia sangat muda, yakni tujuh tahun. Kemudian, di usia sepuluh tahun ia sudah menghafal tuntas Kitab Al Mawattha' karangan Imam malik. Di usia 15 tahun, ia sudah diperbolehkan untuk berfatwa. Sehingga, di usia 18 tahun, ia sudah mendapat izin resmi dari gurunya Muslim bin Khalid az-Zinji (seorang mufti Kota Makkah) untuk menjadi Qadhi (hakim).
Lantas, dimanakah posisi kita yang saat ini penuh dengan berbagai fasilitas untuk menuntut ilmu, tapi masih bermalas-malasan untuk belajar? Harusnya, kita justru malu kepada Imam Syafi'i. Dengan segala keterbatasannya, ia mampu menjadi seorang cendekiawan muslim yang mazhabnya paling banyak dipakai di seluruh dunia.
Blogger Comment
Facebook Comment