photo banner-rumah-pustaka-blog_zpse71xpgpt.gif

Ini Hasil Ijtima MUI Soal Imunisasi

Oleh: H. Hannan Putra, Lc


Sebagai upaya pencegahan penyakit berbahaya, pemerintah senantiasa mengkampanyekan imunisasi seperti polio, campak, DPT, BCG dan lainnya. Imunisasi sebagai salah satu tindakan medis yang dipercaya sebagai pencegahan wabah penyakit, sakit berat, cacat, bahkan berujung kematian. Namun bagaimanakah tinjauan hukum fiqhnya terkait hal ini?

Secara normatif, imunisasi dapat dibenarkan dalam Islam. Dalam perspektif hukum Islam, berobat merupakan bagian dari ikhtiar dalam menjaga kesehatan dan memelihara kelangsungan hidup. Sedangkan imunisasi merupakan tindakan pencegahan yang juga dikategorikan satu bentuk pengobatan dari penyakit. Dalam kaidah fiqh pun disebutkan, "Ad Daf'u aula minarraf'i" (mencegah lebih utama dari menghilangkan).

Dalam materi ijtima' ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia ke-5 yang diselenggarakan di Tegal, 7-10 Juni 2015 lalu disebutkan, para ulama sepakat memperbolehkan penggunaan imunisasi. Dengan catatan, penggunaan vaksin imunisasi harus berbahan halal dan tidak mengandung unsur najis. Sebaliknya, secara umum para ulama mengharamkan imunisasi yang mengandung bahan yang haram. Seperti mengandung insulin dari babi, dan seterusnya.

Lantas, bagaimana jika vaksin imunisasi mengandung bahan yang haram namun sangat diperlukan? Para ulama memberi beberapa pengecualian dalam hal ini. Pertama, jika berada dalam kondisi dharuriyah (darurat), yaitu kondisi terpaksa yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jika manusia. Demikian juga apablika berada dalam kondisi terdesak yang setara dengan kondisi dharuriyah.

Jika hanya sebatas keinginan saja, maka tentu hal ini tidak bisa dikategorikan darurat. Dalam hal ini, para ulama berpegang pada kaidah fiqh "Al-hajaat allatitanzilu manzilah ad-dharurat" (Keinginan saja tidak dapat menggantikan posisi darurat). Jadi, benar-benar dalam kondisi yang menghadapkan kepada maut, barulah pembenaran syarat ini bisa dipakai.

Kedua, jika belum ditemukan bahan yang halal lagi suci, sementara kebutuhan akan imunisasi tersebut sangatlah dibutuhkan masyarakat. Dalam hal ini, sebahagian ulama pun memperbolehkan. Hal ini diterangkan Muhammad al-Khatib al-Syarbaini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (Cet BairutDar al-Fikr juz 1 hal 79). Ia menyebutkan, "berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda suci yang dapat menggantikannya."

Ketiga, jika ada rekomendasi paramedis yang berkompeten dan terpercaya yang menyatakan suatu vaksin imunisasi tersebut tidak ada yang berbahan halal. Kondisi ini juga kembali kepada syarat yang pertama, yaitu jika sangat dibutuhkan.

Hal ini berdalil dengan kaidah fiqh "Ad-dhararu tubihu Al-Mahzhurat" (Kondisi darurat dapat membolehkan hal-hal yang dilarang). Jika benar-benar dalam kondisi darurat, vaksin imunisasi berbahan haram sekalipun dapat diperbolehkan. Darurat artinya, jika seseorang tidak dimunisasi, maka ia bisa dipastikan akan terkena penyakit berbahaya yang mengancam jiwanya.

Para ulama juga berdalil soal kebolehan orang tua mengimunisasi anak-anaknya dengan ayat Alquran Surat al-Nisa' [4] ayat 9, "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka."

Ayat ini mengindikasikan bolehnya melakukan tindakan pencegahan jika di masa mendatang anak-anak keturunannya lemah. Maksud "Dhi'afaa" (lemah) bisa diartikan secara kesejahteraan, ekonomi, dan juga fisik. Tindakan imunisasi merupakan langkah membentengi diri si anak agar terhindar dari pelemahan akibat penyakit.

Selain itu, para ulama juga berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Bila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah, maka jangan masuk kedaerah wabah tersebut." (HR Bukhari). Hadis ini juga sebagai dalil kemestian untuk mencegah dan menghindar dari penyakit. Hadis Abu Salamah bin Abdurrahman juga bernada serupa. "Janganlah orang yang memiliki sakit mendatangi yang sehat." (HR Bukhari).

Vaksin imunisasi berbahan halal adalah suatu kemestian bagi umat Islam. Vaksin tersebut layaknya obat yang harus dengan bahan-bahan yang halal. Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan memberikan obat untuk tiap-tiap penyakit. Jadi, berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram." (HR Abu Daud).

Wabah penyakit yang berbahaya seperti campak, polio, dan lainnya harus dicegah penyebarannya. Cara pencegahan tersebut dengan vaksin imunisasi, agar orang yang belum terinfeksi bisa dicegah. Hal ini berdalil dengan kaidah fiqh "Ad-Dharar yuzal" (bahaya harus dihilangkan) dan "Ad-dhararu yudafi'u biqadarin imkaan" (bahaya harus dicegah sedapat mungkin).

Hadis tersebut merupakan perintah bagi umat Islam yang terkena penyakit untuk berobat. Berdasarkan kaidah fiqh "Al Amru bi syai'in amru biwasailihi" (Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk melaksanakan sarananya). Misalkan, perintah mewajibkan shalat, berarti juga perintah untuk mewajibkan berwudhu. Karena tidak sah shalat tanpa berwudhu. Kewajiban berwudhu sebagai wasilah shalat yang juga ikut terbawa wajib. Demikian juga dengan perintah untuk berobat, berarti juga perintah untuk penyediaan obat-obatan.

Alasan inilah Komisi Fatwa MUI melalui ijtima ulama ke-5 di Tegal tersebut merekomendasikan, Pemerintah juga wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi anak, guna menjamin perlindungan agama dan kesehatan anak. Disamping itu, pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

Ijtima' ulama tersebut juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal kepada seluruh obat. Hal ini adalah bentuk perwujudan amanah undang-undang jaminan produk halal.
Share on Google Plus

About H. Hannan Putra, Lc

Artikel yang ditulis H. Hannan Putra, Lc dalam blog ini dirangkum dari berbagai sumber media. Diantaranya; rubrik Dialog Jumat- Khasanah- Islam Digest di Koran Republika, Republika Online, Majalah Al-Ribath PPMI Mesir, Jurnal Sinai, dakwatuna, Islam Media, Era Muslim, dan media Islam lainnya baik cetak maupun elektronik. Selain itu ada juga beberapa tulisan yang belum diterbitkan. Silahkan mengkopy-paste tulisan-tulisan tersebut untuk syiar dan dakwah Islam. Jangan lupa mencantumkan sumber dari tulisan yang dicopy. Supaya kritikan/ masukan atas tulisan-tulisan tersebut bisa sampai ke penulis.

"Saya bukanlah Ulama, walau cita-cita terbesar saya adalah itu. Saya hanya seorang muballigh yang baru belajar berdakwah dengan lisan dan tulisan. Kajian saya bersifat sederhana, karena memang peruntukan utamanya untuk diri saya sendiri, keluarga, dan masyarakat awam. Saya sangat terbuka untuk berdiskusi. Saya mengusung Islam moderat, anti-fanatisme dan radikalisme. Saya bermazhab Syafi'i. Tapi dalam pemikiran saya lebih suka lintas mazhab dan tak ingin dibatasi oleh kelompok, golongan, atau kepentingan politik. Misi dakwah saya, mengajak anda kepada luasnya Islam, bukan kepada sempitnya golongan." Wassalam, H. Hannan Putra, Lc.
    Blogger Comment
    Facebook Comment