Oleh; H. Hannan Putra, Lc
Ada hal unik ketika beberapa hari menjelang Ramadhan di Sumatra Barat. Sehari atau dua hari menjelang memasuki Ramadhan, tempat-tempat pemandian ramai sekali dikunjungi warga. Tradisi ini disebut dengan istilah balimau.
Secara harfiah, balimau berarti mandi dengan menggunakan limau (jeruk nipis). Zaman dahulu, warga Minangkabau mandi dengan menggunakan jeruk nipis sebagai pengganti fungsi sabun.
Balimau berarti penekanan makna bahwa ia mandi benar-benar bersih. Itulah yang kemudian dikaitkan dengan ajaran agama Islam, yakni sebagai simbol benar-benar membersihkan diri lahir dan batin menjelang melaksanakan ibadah puasa.
Tradisi balimau dipercaya sudah ada sejak abad ke-19 pada masa penjajahan Belanda. Awalnya, tradisi balimau merupakan sebuah ritual pada hari terakhir bulan Sya'ban seseorang diharus kan mandi keramas dengan limau, kasai (bunga rampai), dan beberapa jenis bunga lainnya.
Balimau juga sering disebut dengan bakasai (mandi dengan bunga rampai). Setelah balimau atau bakasai tersebut, barulah seseorang berniat untuk berpuasa Ramadhan esok harinya.
Balimau atau bakasai ini biasanya dilakukan di tempat pemandian umum. Karena zaman dahulu, memang warga Minang melakukan aktivitas MCK di tempat pemandian umum yang disebut lurah atau pincuran. Zaman dahulu tak ada kamar mandi di rumah.
Jika menelisik asal mula tradisi balimau, Bangtjik Kamaluddin dalam bukunya, Mandi Belimau Di Dusun Limbung Bangka Belitung, mengatakan, awal mula yang menerapkan tradisi ini adalah masyarakat Desa Jada Bahri dan Desa Kimak Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Konon kabarnya, seorang bangsawan keturunan Kerajaan Mataram Yogyakarta bernama Depati Bahrein melarikan diri dari kejaran Belanda.
Pada 1700-an, sampailah Depati Bahrein bersama pasukannya ke Pulau Bangka. Depati Bahrein kemudian melakukan ritual mandi pertobatan yang kemudian dicontoh oleh warga sekitar.
Akhirnya, istilah mandi pertobatan ini menjamur ke hampir seluruh Tanah Melayu sebelum memasuki bulan Ramadhan yang dikenal dengan istilah balimau atau bakasai.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berjalan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Mulai muncul perbedaan pendapat apakah kebersihan lahiriyah berdampak pada kebersihan ruhani.
Namun secara umum, esensi balimau sebagai simbol untuk mempersiapkan diri dengan kebersihan ruhani pun bergeser.
Saat ini, balimau lebih dimaknai dengan bertamasya ke tempat-tempat pemandian. Bah kan, para muda-mudi menjadikan momen ini sebagai ajang hura-hura dan berpacaran. Bagi remaja- remaja, balimau hanya tinggal sebagai simbol.
Balimau dijadikan alasan agar mendapatkan izin dari orang tua mereka untuk keluar bertamasya.
Jadi, wajar saja saat ini tradisi balimau yang menyimpang banyak ditentang para pemuka agama dan ulama di Sumatra Barat. Tradisi balimau yang salah kaprah bagi muda-mudi ini dikhawatirkan menjadi bumerang bagi generasi muda. Melihat kondisi saat ini, balimau bukan dimaknai sebagai mandi pertobatan, tetapi sebagai ajang maksiat bagi muda-mudi.
Blogger Comment
Facebook Comment